Sabtu, 07 November 2009

2. Pembahasan
2.1 Astable Multivibrator
Multivibrator merupakan jenis osilator relaksasi yang sangat penting. Rangkaian osilator ini menggunakan jaringan RC dan menghasilkan gelombang kotak pada keluarannya.
Astabel multivibrator biasa digunakan pada penerima TV untuk mengontrol berkas elektron pada tabung gambar. Pada komputer rangkaian ini digunakan untuk mengembangkan pulsa waktu.

Multivibrator difungsikan sebagai piranti pemicu (trigerred device) atau freerunning. Multivibrator pemicu memerlukan isyarat masukan atau pulsa. Keluaran multivibrator dikontrol atau disinkronkan (sincronized) oleh isyarat masukan. Astable multivibrator termasuk jenis free-running.

Sebuah multivibrator terdiri atas dua penguat yang digandeng secara silang. Keluaran penguat yang satu dihubungkan dengan masukan penguat yang lain. Karena masing-masing penguat membalik isyarat masukan, efek dari gabungan ini adalah berupa balikan positif. Dengan adanya (positif) balikan, osilator akan “regenerative” (selalu mendapatkan tambahan energi) dan menghasilkan keluaran yang kontinyu.

Gambar 1 memperlihatkan rangkaian multivibrator menggunakan dua buah transitor bipolar dengan konfigurasi emitor bersama.
1 R dan 2 R memberikan tegangan panjar maju pada basis masing-masing transistor. Kapasitor 1 C menggandeng kolektor 1 Q ke basis 2 Q .
Kapasitor 2 C menggandeng kolektor 2 Q ke basis 1 Q .



Akibat adanya gandengan silang, satu transistor akan konduktif dan yang lainnya cutoff. Kedua transistor secara bergantian akan hidup dan mati sehingga keluaran diberi label Q atau Q. Ini menunjukkan bahwa keluaran mempunyai polaritas berkebalikan.

Saat daya diberikan pada multivibrator pada gambar , satu transistor misalnya 1 Q berkonduksi terlebih dahulu. Dengan 1 Q berkonduksi terjadi penurunan tegangan pada 1 R dan C V menjadi berharga lebih rendah dari CC V .
Ini mengakibatkan terjadinya tegangan ke arah negatif pada 1 C dan tegangan basis positif 1 Q akan berkurang. Konduksi 2 Q akan berkurang dan tegangan kolektornya akan naik ke harga CC V . Tegangan ke arah positif dikenakan pada 2 C .

Tegangan ini akan ditambahkan pada basis 1 Q dan membuatnya lebih berkonduksi. Proses ini berlanjut sampai 1 Q mencapai titik jenuh dan 2 Q mencapai cutoff.

Saat tegangan keluaran masing-masing transistor mencapai kestabilan, maka tidak terdapat tegangan balikan. 2 Q akan kembali berpanjar maju melalui 2 R .

Konduksi pada 2 Q akan mengakibatkan penurunan pada C V . Tegangan ke arah negatif ini akan akan diberikan pada basis 1 Q melalui 2 C . Konduksi 1 Q menjadi berkurang. C V pada 1 Q naik ke harga CC V . Ini akan tergandeng ke basis 2 Q melalui 1 C . Proses ini berlangsung terus sampai 2 Q mencapai titik jenuh dan 1 Q mencapai cutoff. Tegangan keluaran kemudian menjadi stabil dan proses akan berulang. Frekuensi osilasi dari multivibrator ditentukan oleh konstanta waktu 2 R dan 1 C dan 3 R dan 2 C .

Nilai 2 R dan 3 R dipilih sedemikian sehingga masing-masing transistor dapat mencapai titik jenuh. 1 C dan 2 C dipilih untuk mendapatkan frekuensi pengoperasian yang dikehendaki.
Jika 1 C sama dengan 2 C dan 2 R sama dengan 3 R maka keluaran akan simeteris.


Sebuah multivibrator astable sederhana (atau free-running oscillator) dapat dibuat dari inverter Schmitt trigger 74HC14 dan rangkaian RC seperti gambar 3.




Sedangkan bentuk gelombang yang dihasilkan dari rangkaian pada gambar 3 ditunjukkan pada gambar 4



Nilai dari tHI dan tLO dapat dicari dari persamaan :

t HI = RC ln 1
1 - ∆v / E

dimana :

∆v = Vr- - Vr- dan E = VOH - Vr-

dan

t LO = RC ln 1
1 - ∆v / E

dimana :

∆v = Vr- - Vr- dan E = Vr+ - VOL

Duty Cycle adalah rasio perbandingan antara panjang gelombang kotak pada nilai HIGH terhadap periode totalnya, dimana :

D = t HI x 100%
t HI + t LO


Sedangkan frekuensi yang dihasilkan oleh multivibrator astable tersebut adalah :

f = 1
t HI + t LO


2.2 IC 555 Sebagai Astable Multivibrator
Multivibrator Astable dapat dibuat dari IC timer multiguna 555. Dinamakan 555 karena di dalam chip IC-nya terdapat tiga buah resistor yang masing-masing bernilai 5 kΩ terpasang dari VCC hingga Ground. Fungsi dari ketiga resistor ini adalah sebagai pembagi tegangan.

Apabila IC 555 tersebut digunakan sebagai multivibrator astable, maka rangkaian yang dibuat adalah seperti gambar 5.



Sedangkan bentuk gelombang yang dihasilkan oleh IC 555 sebagai Multivibrator Astable adalah sebagai berikut :



Dimana :
t W = RC ln 1
1 - ∆v / E

t LO = RB ln 1
1/3VCC
1- 2/3VCC

Atau
t LO = 0,693 RB C

Sedangkan :
t HI = ( RA + RB )C ln 1
1/3VCC
1- 2/3VCC

Atau

tHI = 0,693 ( RA + RB )C

Setelah tHI dan tLO didapatkan, maka nilai dari Duty Cycle dan frekuensinya dapat dicari dari persamaan.

Jika digunakan sebagai astable multivibrator, IC 555 berlaku sebagai Osolator RC. Bentuk gelombang dan frekuensi keluaran utamannya ditentukan oleh jaringan RC. Gambar 7 memperlihatkan rangkaian astable multivibrator menggunakan IC LM555. Biasanya rangkaian ini digunakan sebagai pembangkit waktu (time base generator) untuk rangkaian lonceng (clock) dan pada komputer.

Pada rangkaian ini diperlukan dua resistor, sebuah kapasitor dan sebuah sumber daya. Keluaran diambil dari pin 3. Pin 8 sebagai +VCC dan pin 1 adalah “tanah”. Tegangan catu DC dapat berharga sebesar 5 – 15 V. Resistor A R dihubungkan antara CC +V dan terminal pengosongan (pin 7). Resistor B R dihubungkan antara pin 7 dengan terminal ambang (pin 6). Kapasitor dihubungkan antara ambang pintu dan “tanah”. Pemicu (pin 2) dan ambang pintu (pin 6) dihubungkan bersama.

Saat daya mula-mula diberikan, kapasitor akan terisi melalui A R dan B R . Ketika tegangan pada pin 6 ada sedikit kenaikan di atas dua pertiga CC V , maka terjadi perubahan kondisi pada komparator 1. Ini akan me-reset flip-flop dan keluarannya akan bergerak ke positif. Keluaran (pin 3) bergerak ke “tanah” dan basis 1 Q berprategangan maju. 1 Q mengosongkan C lewat B R ke “tanah”.







Ketika tegangan pada kapasitor C turun sedikit di bawah sepertiga CC V , ini akan memberikan energi ke komparator 2. Antara pemicu (pin 2) dan pin 6 masih terhubung bersama. Komparator 2 menyebabkan tegangan positif ke masukan set dari flip-flop dan memberikan keluaran negatif. Keluaran (pin 3) akan bergerak ke harga +VCC .

Tegangan basis 1 Q berpanjar mundur. Ini akan membuka proses pengosongan (pin7). C mulai terisi lagi ke harga CC V lewat A R dan B R . Proses akan berulang mulai titik ini. Kapasitor C akan terisi dengan harga berkisar antara sepertiga dan dua pertiga CC V .
Perhatikan gelombang yang dihasilkan pada gambar 8.

Frekuensi keluaran astable multivibrator dinyatakan sebagai f = 1/T.
Ini menunjukkan sebagai total waktu yang diperlukan untuk pengisian dan pengosongan kapasitor C.

Waktu pengisian ditunjukkan oleh jarak 1 t dan 3 t . Jika dinyatakan dalam detik t (R R )C A B = 0,693 + 1 . Waktu pengosongan diberikan oleh 2 t dan 4 t . Dalam detik, t R C B 0,693 2 .
Dalam satu putaran atau satu periode pengoperasian waktu yang diperlukan adalah sebesar :

T = t1 + t2

Atau
T = t3 + t4


Dengan menggunakan harga 1 t dan 2 t atau 3 t dan 4 t , maka persamaan frekuensi dapat dinyataakan sebagai :

f = 1 = 1,44
T ( RA + 2RB )C

Nisbah resistansi A R dan B R sangat penting untuk pengoperasian astable multivibrator. Jika B R lebih dari setengah harga A R , rangkaian tidak akan berosilasi. Harga ini menghalangi pemicu untuk jatuh dari harga dua pertiga CC V ke sepertiga CC V .

Ini berarti IC tidak mampu untuk memicu kembali secara mandiri atau tidak siap untuk operasi berikutnya. Hampir semua pabrik pembuat IC jenis ini menyediakan data pada pengguna untuk memilih harga A R dan B R yang sesuai terhadap harga C.


2.3 IC Pembangkit Gelombang
IC NE/SE 555 adalah piranti multiguna yang telah secara luas digunakan. Piranti ini dapat difungsikan sebagai astable multivibrator. Rangkaian khusus ini dapat dibuat dengan komponen dan daya yang minimal.

Rangkaian dapat dengan mudah dibuat dan sangat reliabel. Chip khusus ini telah banyak diproduksi oleh beberapa pabrik. Sebagai tanda, semua produksi terdapat angka 555 misalnya SN72555, MC14555, SE555, LM555 dan CA555.

Rangkaian internal IC 555 biasanya dilihat dalam sebagai blok-blok. Dalam hal ini, chip memiliki dua komparator, sebuah bistable flip-flop, sebuah pembagi resistif, sebuah transistor pengosong dan sebuah keluaran.





Pembagi tegangan pada IC terdiri dari tiga resistor 5 kW. Jaringan dihubungkan secara internal ke +VCC dan “tanah” dari sumber. Tegangan yang ada di resistor bagian bawah adalah sepertiga CC V .

Tegangan pada titik tengah pembagi tegangan sebesar dua pertiga harga CC V . Sambungan ini berada pada pin 5 dan titik ini didesain sebagai pengontrol tegangan.Dua buah komparator pada IC 555 merespon sebagai rangkaian saklar.Tegangan referensi dikenakan pada salah satu masukan pada masing-masing komparator.

Tegangan yang dikenakan pada masukan lainnya memberikan awalan terjadinya perubahan pada keluaran jika tegangan tersebut berbeda dengan harga referensi. Komparator bereda pada dua pertiga CC V dimana pin 5 dihubungkan ke tengah resistor pembagi. Masukan lain ditandai dengan pin 6 disebut sebagai ambang pintu (threshold). Saat tegangan pada pin 6 naik melebihi dua pertiga CC V , keluaran komparator akan menjadi positif. Ini kemudian dikenakan pada bagian reset dari masukan flip-flop.

Komparator 2 adalah sebagai referensi sepertiga dari CC V . Masukan positif dari komparator 2 dihubungkan dengan bagian bawah jaringan pembagi resistor. Pin 2 eksternal dihubungkan dengan masukan negatif komparator 2. Ini disebut sebagai masukan pemicu (trigger). Jika tegangan pemicu jatuh di bawah sepertiga CC V , keluaran komparator akan berharga positif. Ini akan dikenakan pada masukan set dari flip-flop.

Flip-flop IC 555 termasuk jenis bistable multivibrator, memiliki masukan set dan reset dan satu keluaran. Saat masukan reset positif maka keluaran akan positif.
Tegangan positif pada set akan memberikan keluaran menjadi negatif. Keluaran flipflop tergantung pada status dua masukan komparator.
Keluaran flip-flop diumpankan ke keluaran dan transistor pengosong. Keluaran dihubungkan dengan pin 3 dan transistor pengosongan dihubungkan dengan pin 7.
Keluaran adalah berupa penguat daya dan pembalik isyarat. Beban yang dipasang pada terminal 3 akan melihat apakah keluaran berada pada +VCC atau “tanah”, tergantung kondisi isyarat masukan.
Arus beban sebesar sampai pada harga 200 mA dapat dikontrol oleh terminal keluaraan.
Beban yang tersambung pada CC +V akan mendapat energi saat pin 3 berubah ke “tanah”.
Beban yang terhubung ke “tanah” akan “hidup” saat keluaran berubah ke CC +V . Kemudian akan mati saat keluaran berubah ke “tanah”.
Transistor 1 Q disebut transistor pengosongan (discharge transistor). Keluaran flip-flop dikenakan pada basis 1 Q Saat flip-flop reset (positif), akan membuat 1 Q berpanjar maju. Pin 7 terhubung ke “tanah” melalui 1 Q . Saat flip-flop set (negatif), akan membuat 1 Q berpanjar mundur. Ini akan membuat pin 7 menjadi tak terhingga atau terbuka terhadap “tanah”. Karenanya pin 7 mempunyai dua kondisi, terhubung singkat atau terbuka. Kita selanjutnya akan melihat bagaimana respon rangkaian internal IC 555 sebagai sebuah multivibrator.
http://rachma-taskblog.blogspot.com/2009/06/astable-multivibrator.html


PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Suatu usaha untuk mengatasi persoalan-persoalan pendidikan tanpa menggunakan kearifan (wisdom) dan kekuatan filsafat ibarat sesuatu yang sudah ditakdirkan untuk gagal. Persoalan pendidikan adalah persoalan filsafat. Pendidikan dan filsafat tidak terpisahkan karena akhir dari pendidikan adalah akhir dari filsafat, yaitu kearifan (wisdom). Dan alat dari filsafat adalah alat dari pendidikan, yaitu pencarian (inquiry), yang akan mengantar seseorang pada kearifan.
Filsafat pendidikan memang suatu disiplin yang bisa dibedakan tetapi tidak terpisah baik dari filsafat maupun juga pendidikan, ia beroleh asupan pemeliharaan dari filsafat. Ia mengambil persoalannya dari pendidikan, sedangkan metodenya dari filsafat. Berfilsafat tentang pendidikan menuntut suatu pemahaman yang tidak hanya tentang pendidikan dan persoalan-persoalannya, tetapi juga tentang filsafat itu sendiri. Filsafat pendidikan tidak lebih dan tidak kurang dari suatu disiplin unik sebagaimana halnya filsafat sains atau sains yang disebut mikrobiologi.
Filsafat secara ringkas berkenaan dengan pertanyaan seputar analisis konsep dan dasar-dasar pengetahuan, kepercayaan, tindakan, dan kegiatan. Jadi dalam filsafat terkandung pengertian dua hal, yaitu (1) analisis konsep, dan (2) pendalaman makna atau dasar dari pengetahuan dan sejenisnya. Dengan menganalisis suatu konsep, hakikat makna suatu kata dieksplorasi baik secara tekstual dengan padanannya maupun juga secara kontekstual dalam penggunaannya. Sehingga akan terkuak dimensi-dimensi moral yang khas dalam pemakaiannya, yang membedakannya dari kata yang lainnya. Jadi, memasukkan makna suatu kata sebagai konsep yang khas dalam kesadaran sehingga memiliki asumís-asumsi moral guna membantunya lebih cermat dalam fungsionalisasinya.
Analisis konseptual akan mengantar kita pada setidaknya 2 hal penting: (1) memungkinkan kita melihat secara lebih jernih bagaimana suatu konsep terkait tidak saja dengan konsep-konsep lainnya tetapi juga dengan bentuk-bentuk kehidupan sosial yang berada pada jaringan asumsi-asumsi yang saling bertautan seperti tanggung jawab manusia, hak-hak yang terkait dengan kewenangan, dan peran penderitaan dalam kehidupan kita. Hal tersebut akan mengantar kita pada pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan sosial kita. (2) dengan memahami struktur konseptual tertentu, akan memungkinkan kita untuk bisa mencermati asumsi-asumsi moral terkait isu yang ada. Diskusi tentang ini akan mengantar kita lebih jauh pada filsafat moral.
BAB II
PEMBAHASAN
FILSAFAT PENDIDIKAN DAN PENINGKATAN SDM
A. FILSAFAT PENDIDIKAN
Terdapat tiga persoalan umum yang disebut filsafat.
(1) Metafisika (Metaphysics)
Istilah lebih generik adalah “ontology” yang berkenaan dengan hakikat realitas (what is), sedangkan metafisika berkenaan dengan hakikat eksistensi (what it means “to be”). Pada konteks ini keduanya dipakai saling menggantikan (interchangeably).

Metafisika bisa diartikan sebagai the theory of reality. Suatu upaya filosofis untuk memahami karakteristik mendasar atau esensial dari alam semesta dalam suatu simpul yang sederhana namun serba mencakup.
Secara sederhana, metafisikawan berusaha menjelaskan rangkuman dan intisari dari apa (of what is), apa yang ada (of what exists), dan apa yang sejati ada (of what is ultimately real). Intisari atau substansi realitas ini secara kualitatif maupun kuantitatif bisa jadi satu atau banyak. Mereka yang beraliran kuantitatif (yakni hakikat sebagai rangkuman realitas atau as the sum of reality) terbagi kedalam tiga posisi pandang: (1) monisme, (2) dualisme, dan (3) pluralisme. Sedangkan yang beraliran kualitatif (yakni hakikat sebagai intisari dari realitas atau as the substance of reality) terbagi kedalam 4 posisi pandang: (1) idealisme, bahwa hakikat realitas bersifat mental atau spiritual; (2) realisme, bahwa hakikat realitas bersifat material atau fisis. Dua aliran tersebut termasuk kategori monisme. (3) Thomisme yang mengkombinasikan dua corak aliran monisme sebelumnya. (4) Pragmatisme, yang menolak untuk mengkuantifikasi atau mengkualifikasikan realitas. Mereka lebih suka mengatakan bahwa realitas senantiasa berada pada keadaan berubah dan mencipta secara konstan sekalipun secara literal bisa dinyatakan ada ketidakterbatasan filosofis baik jenis maupun jumlahnya.


(2) Aksiologi (Axiology)
Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Terdapat dua kategori dasar aksiologis; (1) objectivism dan (2) subjectivism. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua berikutnya beraliran subyektivis.
Pertama, teori nilai intuitif (the initiative theory of value). Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang bersifat ultim atau absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang ultim atau absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tata moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antarobyek, dan validitas dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi-preskripsi moralnya.
Kedua, teori nilai rasional (the rational theory of value). Bagi mereka janganlah percaya pada nilai yang bersifat obyektif dan murni independen dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia dan pewahyuan supranatural. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagaimana fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi dengan nalar atau peran Tuhan, seseorang menemukan nilai ultim, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
Ketiga, teori nilai alamiah (the naturalistik theory of value). Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolut atau ma’sum (infallible) tetapi bersifat relatif dan kontingen. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi (kebutuhan/keinginan) manusia.
Keempat, teori nilai emotif (the emotive theory of value). Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan faktual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi-emosi atau tingkah laku (attitude). Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penilaian (valuing) menjadi bagian penting dari tindakan manusia. Bagi mereka, drama kemanusiaan adalah sebuah axiological tragicomedy.
(3) Epistemologi (Epistemology)
Disebut the theory of knowledge atau teori pengetahuan. Ia berusaha mengidentifikasi dasar dan hakikat kebenaran dan pengetahuan, dan mungkin inilah bagian paling penting dari filsafat untuk para pendidik. Pertanyaan khas epistemologi adalah bagaimana kamu mengetahui (how do you know?). Pertanyaan ini tidak hanya menanyakan tentang apa (what) yang kita tahu (the products) tetapi juga tentang bagaimana (how) kita sampai mengetahuinya (the process). Para epistemolog adalah para pencari yang sangat ulet. Mereka ingin mengetahui apa yang diketahui (what is known), kapan itu diketahui (when is it known), siapa yang tahu atau dapat mengetahuinya (who knows or can know), dan yang terpenting, bagaimana kita tahu (how we know). Mereka adalah para pengawas dari keluasan ranah kognitif manusia.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut didahului dengan pertanyaan dapatkah kita mengetahui (can we know?). Di sini terdapat tiga posisi epistemologis:
Pertama, dogmatism. Aliran ini menjawab: ya, tentu saja kita dapat dan benar-benar mengetahui (we can and do know) – selanjutnya bahkan kita yakin (we are certain). Untuk mengetahui sesuatu kita harus lebih dahulu memiliki beberapa pengetahuan yang memenuhi dua kriteria: certain (pasti) dan uninferred (tidak tergantung pada klaim pengetahuan sebelumnya). Contoh untuk itu: a = a dan keseluruhan > bagian.
Kedua, skepticism. Aliran ini menjawab: tidak, kita tidak benar-benar tahu dan tidak juga dapat mengetahui. Mereka setuju dengan dogmatisme bahwa untuk berpengetahuan seseorang terlebih dahulu harus mempunyai beberapa premis-premis yang pasti dan bukannya inferensi. Tapi mereka menolak klaim eksistensi premis-premis yang self-evident (terbukti dengan sendirinya). Respon aliran ini seolah menenggelamkan manusia kedalam lautan ketidakpastian dan opini.
Ketiga, fallibilism. Aliran ini menjawab bahwa kita dapat mengetahui sesuatu, tetapi kita tidak akan pernah mempunyai pengetahuan pasti sebagaimana pandangan kaum dogmatis. Mereka ini hanya mengatakan mungkin (possible), bukan pasti (certain). Manusia hanya akan puas dengan pengetahuan yang reliable, tidak pernah 100% yakin. Tidak ada yang dapat diverifikasi melampaui posibilitas-posibilitas dari keraguan yang mencakup suatu pernyataan tertentu. Inilah yang dikenal dengan istilah “doubting Thomas” yang yakin bahwa kita selalu berhubungan dengan posibilitas-posibilitas dan probabilitas-probabilitas (pengetahuan) dan tidak pernah dengan kepastian-kepastian. Filosofi fallibilistik ini memandang sains senantiasa berada dalam gerak (posture) dan tidak diam. Belajar pengetahuan selalu bersifat terbuka untuk berubah dan bukannya final, bersifat relatif dan bukannya absolut, bersifat mungkin daripada pasti. Moda kerja aliran ini mengkaji pergeseran-pergeseran, melakukan cek dan re-cek, sekalipun hasil yang dicapai selalu saja akan bersifat tentatif.
Para filsuf kontemporer dengan pengecualian beberapa eksistensialis, percaya bahwa kita (manusia) memang dapat mengetahui, tetapi bagaimana?
Idealisme menjawab bahwa pengetahuan itu terdiri dari ide. Ide adalah produk akal (the mind) atau hasil dari proses-proses mental dari intuisi dan penalaran. Intuisi –jika bukan nalar—dapat meraih pengetahuan yang pasti. Analogi yang dipakainya adalah analogi garputala.
Realis klasik menjawab bahwa daya rasional dari akal mengurai kode pengalaman dan merajut darinya kebenaran. Pengetahuan kita tentang dunia eksternal hadir melalui penalaran terhadap laporan-laporan observasi. Sekalipun laporan tersebut dari waktu ke waktu sering menipu ktia, kita dapat selalu bersandar pada nalar kita dan percayalah bahwa pengetahuan pasti itu ada, kebenaran absolut itu ada, dan kita bisa menemukannya.
Kaum Thomis menjawab agar kita meletakkan kepercayaan pada wahyu sebagaimana pada nalar. Bagi mereka ada kebenaran yang ditemukan (truth finding) dan kebenaran yang diberikan (truth living). Adapun orang yang bijak adalah orang yang mampu mengambil manfaat dari keduanya. Aliran ini secara epistemologis bersifat dogmatis.
Sementara kaum realis modern, pragmatis, empirisis logis, atau naturalis mengambil tesis falibilistik bahwa pengetahuan adalah bersifat kontingen dari perubahan serta kebenaran bersifat relatif sesuai dengan kondisinya.
Dari sini, epistemologi adalah bidang tugas filsafat yang mencakup identifikasi dan pengujian kriteria pengetahuan dan kebenaran. Pernyataan kategoris yang menyebutkan bahwa “ini kita tahu” atau “ini adalah kebenaran” merupakan pernyataan-pernyataan yang penuh dengan makna bagi para pendidik karena sedikit banyak hal tersebut bertaut dengan tujuan pendidikan yang mencakup pencarian pengetahuan dan perburuan kebenaran.
Beberapa pandangan tentang konsep pendidikan:
(1) Pendidikan sebagai manifestasi (education as manifestation).
Dengan analogi pertumbuhan bunga atau benih, dikatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses untuk menjadikan manifes (tampak aktual) apa-apa yang bersifat laten (tersembunyi) pada diri setiap anak.
(2) Pendidikan sebagai akuisisi (education as acquisition)
Dengan analogi spon, pendidikan digambarkan sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan seseorang dalam memperoleh (menyerap) informasi dari lingkungannya.
(3) Pendidikan sebagai transaksi (education as transaction)
Dengan analogi orang Eskimo di Baffin Bay yang “berinteraksi” (work together) dengan bebatuan yang ada di lingkungannya untuk membuat rumah batu (stone sculpture) yang secara organic sesuai dengan materialnya dan selaras dengan kemampuan pembuatnya. Pendidikan adalah proses memberi dan menerima (give and take) antara manusia dengan lingkungannya. Di sana seseorang mengembangkan atau menciptakan kemampuan yang diperlukan untuk memodifikasi atau meningkatkan kondisinya dan juga lingkungannya. Sebagaimana pula di sana dibentuk perilaku dan sikap-sikap yang akan membimbing pada upaya rekonstruksi manusia dan lingkungannya.
Filsafat dan pendidikan berjalan bergandengan tangan, saling memberi dan menerima. Mereka masing-masing adalah alat sekaligus akhir bagi yang lainnya. Mereka adalah proses dan juga produk.
(1) Filsafat sebagi proses (philosophy as process)
Filsafat sebagai aktivitas berfilsafat (the activity of philosophizing). Tercakup di dalamnya adalah aspek-aspek: (a) analisis (the analytic), yakni berkaitan dengan aktivitas identifikasi dan pengujian asumsi-asumsi dan criteria-kriteria yang memandu perilaku. (b) evaluasi (the evaluative), berkaitan dengan aktivitas kritik dan penilaian tindakan. (c) spekulasi (the speculative), berhubungan dengan pelahiran nalar baru dari nalar yang ada sebelumnya. (d) integrasi (the integrative), yakni konstruksi untuk meletakkan bersama atau mempertautkan kriteria-kriteria atau pengetahuan atau tindakan yang sebelumnya terpisah menjadi utuh.
Jadi, proses filosofis itu membangun dinamika dalam perkembangan intelektual.
(2) Filsafat sebagai produk (philosophy as product)
Produk dari aktivitas berfilsafat adalah pemahaman (understanding), yakni klarifikasi kata, ide, konsep, dan pengalaman yang semula membingungkan atau kabur sehingga bisa menjadi jernih dan dapat dimanfaatkan untuk pencarian pengetahuan lebih lanjut. Filsafat dengan “P” capital adalah suatu bangun pemikiran yang secara internal bersifat konsisten dan tersusun dari respon-respon yang dibuat terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam proses berfilsat. Pertama-tama, Filsafat memang tampak sebagai suatu jawaban, posisi sikap, konklusi, ringkasan akhir, dan juga rencana final.

B. SUMBER DAYA MANUSIA
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam rangka menjadi khalifah dimuka bumi, hal ini banyak dicantumkan dalam al-Qur’an dengan maksud agar manusia dengan kekuatan yang dimilikinya mampu membangun dan memakmurkan bumi serta melestarikannya. Untuk mencapai derajat khalifah di buka bumi ini diperlukan proses yang panjang, dalam Islam upaya tersebut ditandai dengan pendidikan yang dimulai sejak buaian sampai ke liang lahat.
Di atas telah disinggung bahwa pendidikan Islam memadukan dua segi kepentingan manusia yaitu keduniaan dan keagamaan. Berbeda dengan pendidikan sekuler yang hanya meninjau pada satu aspek saja, yaitu keduniaan saja dan segala bentuk keberhasilan cenderung dinyatakan dengan jumlah materi yuang dimiliki atau jabatan serta pengaruh di tempat individu berada. Akibatnya telah dapat dilihat bahwa kehampaan yang terjadi pada masyarakat Eropah dan Amerika adalah kehampaan spiritual yang sebagai tempat pelariannya ke tempat-tempat hiburan, alcoholism dan bentuk lainnya. Dengan demikian kemajuan pada satu aspek saja dalam kehidupan ini menyebabkan ketimpangan dalam perjalanan hidup manusia yang kemudian akan kembali menjadi permasalahan kemanusiaan khususnya sumber daya manusia.
Menurut Hadawi Nawawi (1994) Sumber daya manusia (SDM) adalah daya yang bersumber dari manusia, yang berbentuk tenaga atau kekuatan (energi atau power). Sumber daya manusia mempunyai dua ciri, yaitu : (1) Ciri-ciri pribadi berupa pengetahuan, perasaan dan keterampilan (2) Ciri-ciri interpersonal yaitu hubungan antar manusia dengan lingkungannya. Sementara Emil Salim menyatakan bahwa yang dimaksud dengan SDM adalah kekuatan daya pikir atau daya cipta manusia yang tersimpan dan tidak dapat diketahui dengan pasti kapasitasnya. Beliau juga menambahkan bahwa SDM dapat diartikan sebagai nilai dari perilaku seseorang dalam mempertanggungjawabkan semua perbuatannya, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa. Dengan demikian kualitas SDM ditentukan oleh sikap mental manusia (Djaafar, 2001 : 2).
T. Zahara Djaafar (2001 : 1) menyatakan bahwa bila kualitas SDM tinggi, yaitu menguasai ilmu dan teknologi dan mempunyai rasa tanggung jawab terhadap kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya dan merasa bahwa manusia mempunyai hubungan fungsional dengan sistem sosial, nampaknya pembangunan dapat terlaksana dengan baik seperti yang telah negara-negara maju, dalam pembangunan bangsa dan telah berorientasi ke masa depan. Tidak jarang di antara negara-negara maju yang telah berhasil meningkatkan kesejahteraan bangsanya adalah bangsa yang pada mulanya miskin namun memiliki SDM yang berkualitas.
Dalam Islam sosok manusia terdiri dua potensi yang harus dibangun, yaitu lahiriah sebagai tubuh itu sendiri dan ruhaniyah sebagai pengendali tubuh. Pembangunan manusia dalam Islam tentunya harus memperhatikan kedua potensi ini. Jika dilihat dari tujuan pembangunan manusia Indonesia yaitu menjadikan manusia seutuhnya, maka tujuan tersebut harus memperhatikan kedua potensi yang ada pada manusia. Namun upaya kearah penyeimbangan pembangunan kedua potensi tersebut selama 32 tahun masa orde baru hanya dalam bentuk konsep saja tanpa upaya aplikasi yang sebenarnya. Telah dimaklumi bahwa pendidikan Islam memandang tinggi masalah SDM ini khususnya yang berkaitan dengan akhlak (sikap, pribadi, etika dan moral).
Kualitas SDM menyangkut banyak aspek, yaitu aspek sikap mental, perilaku, aspek kemampuan, aspek intelegensi, aspek agama, aspek hukum, aspek kesehatan dan sebagainya (Djaafar, 2001 : 2). Kesemua aspek ini merupakan dua potensi yang masing-masing dimiliki oleh tiap individu, yaitu jasmaniah dan ruhaniah. Tidak dapat dipungkiri bahwa aspek jasmaniah selalu ditentukan oleh ruhaniah yang bertindak sebagai pendorong dari dalam diri manusia. Untuk mencapai SDM berkualitas, usaha yang paling utama sebenarnya adalah memperbaiki potensi dari dalam manusia itu sendiri, hal ini dapat diambil contoh seperti kepatuhan masyarakat terhadap hukum ditentukan oleh aspek ruhaniyah ini. Dalam hal ini pendidikan Islam memiliki peran utama untuk mewujudkannya.
Tantangan manusia pada millennium ke-3 ini akan terfokus pada berbagai aspek kompleks. Khusus dibidang pendidikan Aly dan Munzier (2001 : 227) menyebutkan bahwa tantangan pendidikan Islam terbagi atas 2, yaitu tantangan dari luar, yaitu berupa pertentangan dengan kebudayaan Barat abad ke-20 dan dari dalam Islam itu sendiri, berupa kejumudan produktivitas keislaman.

Abdul Rachman Shaleh (2000 : 203) menyatakan bahwa untuk menjawab tantangan dan menghadapi tuntutan pembangunan pada era globalisasi diisyaratkan dan diperlukan kesiapan dan lahirnya masyarakat modern Indonesia. Aspek yang spektakuler dalam masyarakat modern adalah penggantian teknik produksi dari cara tradisional ke cara modern yang ditampung dalam pengertian revolusi industri. Secara keliru sering dikira bahwa modernisasi hanyalah aspek industri dan teknologi saja. Padahal secara umum dapat dikatakan bahwa modernisasi masyarakat adalah penerapan pengetahuan ilmiah yang ada kepada semua aktivitas dan semua aspek hidup masyarakat.
Dalam upaya pembangunan masyarakat, tidak ada suatu masyarakat yang bisa ditiru begitu saja, tanpa nilai atau bebas nilai. Hal ini telah terlihat dengan peniruan dan pengambilan pola kehidupan sosialis, materialistis yang ditiru masyarakat Indonesia. Untuk itu perlu pembangunan di bidang agama. A. R. Saleh (2000 : 205) menyatakan bahwa pembangunan di bidang agama diarahkan agar semakin tertata kehidupan beragama yang harmonis, semarak dan mendalam, serta ditujukan pada peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan YME, teciptanya kemantapan kerukunan beragama, bermasyarakat dan berkualitas dlam meningkatkan kesadaran dan peran serta akan tanggung jawab terhadap perkembangan akhlak serta untuk secara bersama-sama memperkukuh kesadaran spiritual, moral dan etik bangsa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, peningkatan pelayanan, sarana dan prasarana kehidupan beragama.
Masyarakat yang sedang membangun adalah masyarakat yang sedang berubah dan terkadang perubahan tersebut sangat mendasar dan mengejutkan. Masyarakat yang sedang dibangun berarti masyarakat terbuka, yang memberi peluang untuk masuknya modal, ilmu dan teknologi serta nilai dan moral asing yang terkadang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Untuk itu peran agama diharapkan dapat berfungsi sebagai pengarah dan pengamanan pembangunan nasional. Dalam masyarakat yang sedang berubah ini terdapat objek paling rawan yaitu generasi muda, untuk itu prioritas perhatian pada generasi muda ini perlu ditingkatkan demi keberhasilan pembangunan.
Peningkatan kualitas manusia hanya dapat dilakukan dengan perbaikan pendidikan. A. R. Saleh (2000 : 205) menyatakan ada beberapa ciri masyarakat atau manusia yang berkualitas, yaitu :
1. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, serta berakhlak mulia dan berkepribadian
2. Berdisiplin, bekerja keras, tangguh dan bertanggung jawab
3. Mandiri, cerdas dan terampil
4. Sehat jasmani dan rohani
5. Cinta tanah air, tebal semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial
Generasi yang berkualitas yang akan disiapkan untuk menyongsong dan menjadi pelaku pembangunan pada era globalisasi dituntut untuk meningkatkan kualitas keberagamaannya (dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan agamayang tetap bertumpu pada iman dan aqidah). Dengan kata lain masyarakat maju Indonesia menuntut kemajuan kualitas hasil pendidikan Islam. A. R. Saleh menyatakan bahwa modernisasi bagi bangsa Indonesia adalah penerapan ilmu pengetahuan dalam aktivitas pendidikan Islam secara sistematis dan berlanjut. Tujuan pendidikan nasional termasuk tujuan pendidikan agama adalah mendidik anak untuk menjadi anak manusia berkualitas dalam ukuran dunia dan akhirat.
Untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang berkualitas, ditetapkan langkah-langkah dalam pembinaan pendidikan agama yaitu :
1. Meningkatkan dan menyelaraskan pembinaan perguruan agama dengan perguruan umum dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi sehingga perguruan agama berperan aktif bagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Pendidikan agama pada perguruan umum dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi akan lebih dimantapkan agar peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME serta pendidikan agama berperan aktif bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Pendidikan tinggi agama serta lembaga yang menghasilkan tenaga ilmuan dan ahli dibidang agama akan lebih dikembangkan agar lebih berperan dalam pengembangan pikiran-pikiran ilmiah dalam rangka memahami dan menghayati serta mampu menterjemahkan ajaran-ajaran agama sesuai dan selaras dengan kehidupan masyarakat (A. R. Saleh, 2000 : 206).

Berdasarkan upaya diatas, maka dapat dilihat bahwa upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan agama pada 2 jalur, yaitu lembaga pendidikan umum dan keagamaan. Sejalan dengan upaya peningkatan SDM ini H. A. R. Tilaar (1999 : 200-204) dalam memandang tuntutan SDM yang kompetitif di abad 21 sesuai tantangan atau tuntutan masyarakat dalam era ilmu pengetahuan, menyatakan bahwa perlunya :
1. Reformulsi IAIN sebagai Institusi Pendidikan Tinggi Islam, hal ini dilihat dari relevansinya terhadap tuntutan ilmu pengetahuan dan pembangunan nasional masih bersifat sektoral dan visinya yang terbatas
2. Nilai Agama Sebagai Faktor Integratif, telah terlihat efek pemisahan agama dan sains-teknologi, nilai agama hendaknya dijadikan faktor integratif di dalam mengembangkan fakultas-fakultas ilmu murni bila transformasi IAIN menjadi Universitas Islam dapat diwujudkan.
3. Peninjauan Eksistensi Fakultas Tarbiyah dalam IAIN dan menyarankan agar ditransformasikan menjadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Dalam menciptakan SDM yang bermutu sesuai tantangan globalisasi saat ini Pendidikan Islam memainkan peranan penting dalam pembinaan SDM khususnya kepribadian, sikap dan mental manusia berlandaskan agama selain potensi intelektualitasnya.
b. Pendidikan Islam pada dasarnya merupakan proses bimbingan yang dibangun atas prinsip-prinsip pokok, berupa penciptaan yang bertujuan, kesatuan yang menyeluruh dan keseimbangan yang kokoh. Pendidikan Islam memandang perlunya aspek dunia dan akhirat, ilmu dan amal atau teori dan praktek.
c. Pendidikan Islam berperan dalam memecahkan permasalahan SDM jika didukung perguruan tinggi Islam yang mampu menyahuti aspirasi tamatan institusi pendidikan Islam di tingkat bawah, selanjutnya mempersiapkan SDM untuk diterjunkan kembali pada masyarakat.
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diambil, dalam makalah ini disarankan hal-hal berikut :
a. Pendidikan Islam sebaiknya memainkan peran sejak awal dan tingkat dasar dalam upaya peningkatan SDM, baik jasmaniah dan rohaniah.
b. Pendidikan tinggi Islam agar secepatnya melakukan terobosan baru demi menyikapi hal-hal yang berkembang cepat demi menghasilkan SDM yang berkualitas dalam aspek keduniaan dan keakhiratan.



Daftar Pustaka
Aly, H. N. dan Munzier, H. (2000). Watak Pendidikan Islam. Jakarta : Friska Agung Insani.
Azra, Azyumardi. (2001). Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta : Kalimah.
Hasan, Chalijah. (1994). Dimensi-dimensi Psikologi Pendidikan. Surabaya : Al Ikhlas.
Prasetya. (2000). Filsafat Pendidikan : Untuk IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung : Pustaka Setia.
Shaleh, A. R. (2000). Pendidikan Agama dan Keagamaan : Visi, Misi dan Aksi. Jakarta : Gemawindu Pancaperkasa.
Tilaar, H. A. R. (1999). Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21. Magelang : Tera Indonesia.


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Filsafat dalam kehidupan manusia tidak terpisahkan, bukan saja karena sejarahnya yang panjang ke belakang zaman dalam catatan-catatan yang ada. Melina jug Karena ajaran filsafat Malahan menjangkau masa depan umat manusia dalam bentuk-bentuk ideologi, manusia, bangsa-bangsa pengabdi setia nilai-nilai filsafat tertentu, sebagai ideologi nasional masing-masing.
Filsafat dari sudut pendidikan secara sederhana dapat dimengerti dari namanya sendiri, yaitu filsafat yang dijadikan asas dan pandangan dasar bagi pelaksanaan sendiri. Akan tetapi persoalan sesungguhnya tidaklah sesederhana itu. Pengertian pendidikan baik sebagai bidang ilmu pengetahuan maupun sebagai lembaga pembinaan manusia, sedemikian luas ruang lingkup dan problematikanya. Demikian pula pengertian pendidikan dan pengertian filsafat, sebagai suatu ilmu yang paling komprehensif.
Untuk sekedar memperjelas pengertian sebagai suatu langkah dan pendekatan memahami pendidikan lebih lanjut, mengerti sesuatu dari segi definisi agaknya dapat diterima. Tetapi untuk mengerti sesuatu sebagaimana mestinya, melalui definisi saja bukanlah tindakan bijaksana. Sebab bagimanapun pengertian melalui definisi tentang suatu konsepsi yang abstrak akan selalu tidak representatif. Bahkan, pengertian kita tentang sesuatu yang kongkrit, yang dapat dihayati dengan panca indera, sedemikian sukarnya untuk merumuskannya dalam suatu definisi.
Tidaklah saja faktor keterbatasan perbendaharaan bahasa, melainkan juga kemampuan intelek pun terbatas untuk merumuskannya, dan juga karena definisi merupakan hasil berpikir dan pandangan seseorang, maka faktor-faktor subyektivitas sukar pula dihindarkan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakekat Pendidikan
Pendidikan merupakan pemberdayaan sumber daya manusia. Hakekat pendidikan adalah memberikan kebebasan kepada seseorang untuk mengembangkan dirinya sendiri sesuai dengan potensi yang dimiliki. Pendidikan dapat diartikan sebagai proses kegiatan mengubah perilaku individu ke arah kedewasaan dan kematangan. Arti kedewasaan adalah konotasi ini sangat luas, tidak terbatas hanya pada usia kalender, melainkan lebih menekankan pada mental-spiritual, sikap nalar, baik intelektual maupun emosional, sosial dan spiritual.
Hakekat pendidikan di dalam kehidupan manusia, lebih-lebih dalam zaman modern ini diakui sebagai suatu kekuatan yang menentukan prestasi dan produktivitas seseorang. Tidak ada satu fungsi dan jabatan di dalam masyarakat tanpa melalui proses pendidikan. Seluruh aspek kehidupan memerlukan proses pendidikan dalam arti demikian, terutama berlangsung di dalam dan oleh lembaga-lembaga pendidikan formal (sekolah, universitas).
Akan tetapi hakekat pendidikan lebih dari padanya hanya pendidikan formal itu. Di dalam masyarakat keseluruhan terjadi pula proses pendidikan di mana antar hubungan dan interaksi sosial mempengaruhi perkembangan kepribadian manusia. Proses pendidikan yang berlangsung di dalam kehidupan sosial yang disebut pendidikan informal ini bahkan berlangsung sepanjang kehidupan manusia.
Menurut Prof. Richey dalam bukunya yang berjudul “Planning for Teaching an Introduction to Education” antara lain sebagai berikut :
Istilah pendidikan berkenaan dengan fungsi yang luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu masyarakat terutama membawa warga masyarakat yang baru (generasi muda). Jadi hakekat pendidikan adalah proses yang lebih luas dari pada proses proses yang berlangsung di dalam sekolah saja. Pendidikan adalah suatu aktivitas sosial yang esensial yang memungkinkan masyarakat tetap ada dan berkembang. Di dalam masyarakat yang kompleks/modern, fungsi pendidikan ini mengalami proses spesialisasi dan melembaga dengan pendidikan formal yang tetap berhubungan dengan proses pendidikan informasi di luar sekolah.
Dari definisi pendidikan di atas, sekurang-kurangnya tiap pribadi manusia terlibat dengan pengaruh pendidikan dalam arti yang lebih luas. Sebab tiap manusia kenyataannya sekaligus adalah warga masyarakat dan pendidikan dalam arti luas itu berlangsung di dalam dan oleh proses masyarakat.
B. Hakekat Filsafat Pendidikan
Proses pendidikan adalah proses perkembangan yang memiliki tujuan. Tujuan proses perkembangan itu secara alamiah ialah kedewasaan, kematangan. Sebab potensi manusia yang paling alamiah ialah bertumbuh pada menuju ke tingkat kedewasaan, kematangan.
Filsafat pendidikan menjadi sangat penting, sebab menjadi dasar, arah dan pedoman suatu sistem pendidikan. Filsafat pendidikan adalah aktivitas pemikiran sebagai hasil pengkajian secara teratur dan mendalam yang menjadikan filsafat sebagai medianya untuk menyusun proses pendidikan, menyelaraskan dan mengharmoniskan dan menerangkan nilai-nilai dan tujuan yang akan dicapai.
Bidang ilmu pendidikan dengan berbagai cabang-cabangnya merupakan landasan ilmiah bagi pelaksanaan pendidikan yang terus berkembang secara dinamis, sedangkan filsafat pendidikan sesuai dengan hakekatnya merupakan landasan filosofis yang menjiwai seluruh kebijaksanaan dan pelaksanaan pendidikan. Kedua bidang pengetahuan ini harus menjadi pengetahuan dasar (know ledge basic) bagi setiap pelaksana pendidikan.
Menurut Al-Syaibany (1979 : 30) Hakekat Filsafat Pendidikan adalah sebagai pandangan hidup falsafah dan kaidah falsafah dalam bidang pendidikan. Filsafat itu mencerminkan satu segi dari segi pelaksanaan falsafah umum dan menitik beratkan kepada pelaksanaannya yang menjadi dasar dari falsafah umum dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan.
Manusia sebagai pribadi ataupun sebagai masyarakat, sebagai bangsa dan negara hidup di dalam sosio-budaya. Aktivitas untuk mewariskan dan mengembangkan sosio-budaya itu terutama melalui pendidikan. Untuk menjamin supaya pendidikan itu benar dan prosesnya efektif maka dibutuhkan terutama landasan-landasan filosofis dan landasan-landasan pendidikan sebagai ases normatif dan pedoman pelaksanaan pembinaan.
Dengan demikian kedua asas tersebut, filosofis dengan pendidikan tidak dapat dipisahkan. Sebaba, pendidikan sebagai satu wadah dan usaha membina dan mewariskan kebudayaan, mengemban suatu kewajiban yang luas dan menentukan prestasi suatu bangsa, bahkan tingkat sosio-budaya mereka. Sehingga pendidikan bukanlah usaha dan aktivitas spekulatif semata-mata. Pendidikan harus secara fundamental didasarkan atas asas-asas filosofis dan ilmiah yang menjamin pencapaian tujuan yakni meningkatkan perkembangan suatu individu tersebut melalui pendidikan.
C. Hakekat Sekolah Dasar
Sebelum membahas lebih dalam mengenai Hakekat Sekolah Dasar, akan dijelaskan terlebih dahulu pengertian dari pada Sekolah Dasar yaitu : Tingkatan dasar dari urutan pendidikan formal di mana siswanya berusia mulai dari enam tahun sampai kira-kira sebelas atau dua belas tahun. Usia ini ditandai dengan mulainya anak masuk sekolah dasar dan dimulailah sejarah baru dalam kehidupannya yang kelak mengubah sikap-sikap dan tingkah lakunya.
Di dalam sebuah sekolah dasar ada beberapa cakupan di dalamnya antara lain :
a Kompetansi Dasar
Yaitu pernyataan minimal atau memadai tentang pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar yang diretlefsikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak setelah semua siswa menyelesaikan aspek atau sub aspek mata pelajaran tertentu

b Pengenalan-Pengenalan
Di sini ditekankan lebih terhadap kelas rendah terlebih siswa kelas I (satu) yang baru mengenal dunia pendidikan dasar di tingkat formal yakni Sekolah Dasar (SD) harus diadakan pengenalan yang lebih baik dalam belajar dan bermain
c Visi, Misi dan Tujuan Sekolah
Sebagai sekolah yang mempunyai tujuan dan arah yang akan dicapai, maka sekolah harus mempunyai sebuah visi dan misi, berikut adalah contoh visi dan misi dari suatu sekolah dasar :
Visi
Mewujudkan lulusan yang berkualitas, berprestasi, berbudi pekerti dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
Misi
• Meningkatkan pendidikan budi pekerti bagi siswa dengan menambah jam belajar agama di luar jam sekolah
• Melancarkan pembelajaran secara efektif dan kreatif agar siswa dapat berkembang secara optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya
• Meningkatkan kemampuan guru sesuai dengan keahliannya dalam tugasnya
• Menerapkan disiplin dan bekerjasama dengan melibatkan warga sekolah, masyarakat dan komite sekolah

Tujuan Sekolah
• Dapat mengamalkan ajaran agama, sehingga menghasilkan siswa yang beriman dan mengembangkan kegiatan yang didapat dari sekolah
• Menguasai ilmu pengetahuan sebagai bekal untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi
• Menjadikan guru yang berkualitas sehingga menjadikan sekolah pelopor dan penggerak di lingkungan masyarakat sekolah
• Menjadikan sekolah yang dipaporitkan di masyarakat sekitar
D. Hakekat Pelaksanaan Filsafat Pendidikan di Sekolah Dasar
Hakekat Filsafat di Sekolah Dasar merupakan idealnya atau sesuainya pendidikan itu di sekolah dasar tersebut.
Terdapat kebaikan dan kekurangan yang ditemukan di Sekolah Dasar. Ditinjau dari :
a Kurikulum
Menggunakan KTSP. Di sini saya sajikan contoh silabus pada kelas V semester I dan II mata pelajaran PKn
Semester I
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Materi dalam Buku ini
1. Memahami pentingnya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 1.1 Mendeskripsikan (NKRI)
1.2 Menjelaskan pentingnya (NKRI)
1.3 Menunjukkan contoh-contoh perilaku dalam menjaga keutuhan NKRI BAB I
2. Memahami peraturan perundang-undangan tingkat pusat dan daerah 1.4 Menjelaskan pengertian dan pentingnya peraturan perundang-undangan tingkat pusat dan daerah
1.5 Memberikan contoh peraturan perundang-undangan tingkat pusat dan daerah, seperti pajak, anti korupsi, lalu lintas, larangan merokok BAB II
Semester II
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Materi dalam Buku ini
3. Memahami kebebasan berorganisasi 1.1 Mendeskripsikan pentingnya organisasi
1.2 Menyebutkan contoh organisasi di lingkungan sekolah dan masyarakat
1.3 Menampilkan peran serta dalam memilih organisasi di sekolah BAB III
4. Menghargai keputusan bersama 1.4 Mengenal bentuk-bentuk keputusan bersama
1.5 Mematuhi keputusan bersama BAB IV
b Sarana Belajar
Ditinjau dari sarana belajarnya beberapa sekolah dasar negeri memang sudah memenuhi kriteria sarana belajar untuk tingkat Sekolah Dasar Negeri di Sumatera Utara yakni Medan. Di mana rombongan belajarnya (peserta didik) berjumlah 40 (empat puluh) siswa per kelas dengan ruangan kelas yang cukup lebar

c Fasilitas Sekolah
Ditinjau dari fasilitas sekolah. Beberapa SD Negeri fasilitasnya belum memadai, sebab belum lengkap, terbukti dari ketidak lengkapan perlengkapan Unit Kesehatan Siswa (UKS), kantin yang tidak begitu kelihatan sehat, isi perpustakaan tidak begitu memadai, ruang guru yang begitu sempit.
d Kesesuaian Tenaga Pendidikan dengan Keahlian
Ditinjau dari tenaga pengajar apakah sudah sejalan dengan keahlian masing-masing, menurut tinjauan kami sudah sesuai karena pada jalannya seperti untuk guru kelas rata-rata mereka memang lulusan dari S-1 dan ada juga yang D-II dan guru olah raga lulusan S-1 Olah Raga dan guru Agama lulusan S-1 PAI (Pendidikan Agama Islam).
e Mobiler
Ditinjau dari segi Mobiler beberapa Sekolah Dasar Negeri sudah cukup baik dikarenakan kursi yang masih bagus dan meja siswa yang lengkap dengan menggunakan laci.
f Metode/Strategi Belajar Guru
Dalam kegiatan belajar mengajar tidak semua anak didik mampu berkonsentrasi dalam waktu relatif lama. Daya serap anak didik terhadap bahan yang diberikan juga bermacam-macam, ada yang cepat, ada yang sedang dan ada yang lambat. Faktor intelegensi mempengaruhi daya serap anak didik terhadap bahan pelajaran yang diberikan guru.
Guru-guru di beberapa SD Negeri menggunakan metode belajar-mengajar sebagai berikut :
 Metode Ceramah
 Metode Tanya Jawab
 Metode Diskusi
 Metode Kerja Kelompok
 Metode Pemberian Tugas
 Metode Demonstrasi
 Metode Eksperimen
 Metode Simulasi
 Metode Penemuan
 Metode Latihan
PEMBERDAYAAN GURU
MENYONGSONG ERA GLOBALISASI
Oleh : Hairuddin
NPM 0823011032
PROGRAM PASCA SARJANA
MAGISTER TEKNOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
Sejalan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, khususnya dalam bidang informasi dan komunikasi, telah menjadikan dunia ini terasa semakin menjadi sempit dan transparan. Antara satu belahan dunia dengan belahan dunia lainnya dengan mudah dapat dijangkau dan dilihat dalam waktu yang relatif singkat.
Itulah globalisasi, yang di dalamnya membawa berbagai implikasi yang luas dan kompleks bagi kehidupan manusia. Implikasi nyata dari adanya globalisasi adalah terjadinya perpacuan manusia yang mengglobal. Seorang individu dalam berkarya tidak hanya dituntut untuk mampu berkiprah dan berkompetisi sebatas tingkat lokal dan nasional semata, namun lebih jauh harus dapat menjangkau sampai pada tingkat kompetisi global, yang memang di dalamnya berisi sejumlah tantangan dan peluang yang begitu ketat.
Pada saat yang bersamaan, kita pun saat ini sedang dihadapkan dengan era otonomi daerah, yaitu sebuah paradigma baru dari sistem pemerintahan, yang semula bersifat otoriter-sentralistik menuju ke arah demokratik-desentralistik. Sebagai paradigma baru, tentunya akan mempunyai implikasi yang sangat luas pula terhadap tatanan kehidupan. Berbagai persoalan akan muncul, baik yang bersifat tantangan maupun hambatan. Dengan kewenangan yang luas, daerah seyogyanya lebih mampu untuk memberdayakan diri dan memacu partisipasi masyarakatnya dalam berbagai kegiatan pembangunan, sehingga pada gilirannya benar-benar akan dapat terwujud berbagai kemajuan yang signifikan.
Dari sini timbul pertanyaan, bagaimanakah agar kita benar-benar dapat survive dan eksis guna menghadapi kedua tantangan zaman tersebut. Tak lain jawabannya, kualitas sumber daya manusia ! Faktor kualitas sumber daya manusia menjadi amat penting karena hanya dengan sentuhan manusia-manusia yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, keterampilan yang handal dan sikap moral yang tinggi, maka berbagai persoalan yang muncul sebagai konsekwensi logis dari adanya era globalisasi dan era otononomi daerah sangat diyakini akan bisa terjawab. Oleh karena itu, gerakan usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia hendaknya menjadi komitmen seluruh komponen bangsa. Melalui usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia diharapkan dapat tercipta manusia-manusia yang dapat diandalkan untuk menjadi motor penggerak pembangunan di daerah. Sekaligus pula, dapat diandalkan untuk mampu berkiprah dalam percaturan global.
Pada kenyataaannya, memang harus diakui bahwa saat ini tingkat kualitas sumber daya manusia Indonesia sangat mengkhawatirkan, jangankan untuk bersaing pada tingkat global, untuk tingkat regional ASEAN saja, kita berada pada posisi di bawah Vietnam, yakni sebuah negara yang beberapa tahun lalu berkecamuk dilanda perang saudara. Namun, dengan dukungan political will yang kuat dari pemerintah setempat untuk mengkampanyekan pentingnya pendidikan, dengan mengangkat tema sentral posisi guru sebagai kunci utama keberhasilan peningkatan sumber daya manusia, maka dalam waktu yang relatif singkat, saat ini Vietnam telah berhasil mengangkat posisi kualitas sumber daya manusianya di atas kita.
Rasanya tak perlu malu, kalau kita belajar menimba pengalaman dari keberhasilan Vietnam dalam membangun sumber daya manusianya, yakni dengan berusaha menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama pembangunan, dengan tema sentral yang sama yakni guru sebagai kunci utama keberhasilan peningkatan sumber daya manusia. Memang, berdasarkan hasil studi di negara-negara berkembang telah membuktikan bahwa guru memberikan kontribusi tertinggi dalam pencapaian prestasi belajar (36%), kemudian disusul manajemen (23%), waktu belajar (22%), dan sarana fisik (19%), sebagaimana disampaikan oleh Dirjen Dikdasmen pada acara Dies Natalis XVI Universitas Terbuka.
Suka atau tidak suka, memang harus diakui bahwa semasa rezim orde baru yang otoriter dan sentralistik itu telah menempatkan profesi guru berada pada posisi yang termarjinalkan dari keseluruhan sistem pembangunan. Akibatnya, dalam pengelolaan dan pengembangan proses pembelajaran seringkali guru menjadi miskin kreativitas, karena selalu dicekoki oleh berbagai aturan yang sangat mengikat dan kaku. Kebebasan mengaktulisasikan diri untuk menjadi seorang profesional terhambat dan guru hanya berperan sebagai tenaga juru belaka, yang bertugas menyampaikan apa yang telah disajikan dari pusat dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai pada tahap evaluasi sekali pun.
Terlebih lagi dengan adanya kewajiban untuk memenuhi target-target materi kurikulum tertentu yang seringkali menimbulkan rasa stress, baik guru maupun siswa. Demi mengejar target materi, seringkali terjadi pemaksaan penjejalan materi kepada siswa. Mengerti atau tidak mengerti apa yang telah disampaikan guru, menjadi urusan belakangan.
Beban lain yang harus ditanggung guru yaitu menyangkut kewajiban membuat berbagai perangkat administrasi yang sudah terpolakan secara baku dan bermacam-macam jenisnya. Bahkan ada persepsi bahwa guru yang baik adalah yang memiliki administrasi lengkap. Dari sini timbul sikap pragmatis, yang penting administrasi bagus, meskipun pada kenyataannya, antara yang tertulis dalam administrasi dengan pelaksanaan, sesungguhnya sangat bertolak belakang.
Hal yang mendasar dan menjadi persoalan utama guru adalah menyangkut kesejahteraannya. Tunjangan fungsional yang diskriminatif dibandingkan dengan profesi lain telah menimbulkan rasa cemburu di kalangan guru. Selain itu, berbagai kasus pemotongan gaji untuk kepentingan yang tidak masuk akal seringkali terjadi. Begitu juga, prosedur kenaikan pangkat yang berbelit-belit dan selalu berakhir dengan pungutan-pungutan yang tidak jelas juntrungnya, kiranya semakin melengkapi rasa frustrasi guru.
Akumulasi berbagai persoalan yang dihadapi guru berdampak luas terhadap melemahnya kinerja guru. Guru melaksanakan tugas semata-mata sebagai rutinitas, tanpa disertai proses kreatif dan inovatif. Sudah bisa hadir di kelas pun di anggap cukup. Sekali-kali tidak masuk kelas dan hanya diwakili oleh tugas yang harus dikerjakan siswa, masih dianggapnya wajar. Pemberian evaluasi kepada siswa berjalan seadanya, manakala hasil ulangan jeblok pun, tidak perlu lagi usaha untuk meneliti kenapa terjadi kegagalan, apalagi berusaha mencari pengentasannya. Bahkan berdampak pula terhadap relasi antara guru dengan siswa yang terasa senjang. Guru tidak peduli lagi apa yang terjadi dengan siswa, baik tentang kondisi fisik, kesehatan, kesulitan, kebutuhan, minat, perasaan, kemampuan maupun harapan-harapannya. Yang jelas, kalau ada siswa yang tidak hadir atau ngantuk di kelas tetap akan dianggap sebagai tindakan indisipliner yang perlu diberi sanksi.
Hubungan antara guru dan siswa yang humanis berjalan mandeg. Tidak terbangun lagi rasa saling asah, saling asih dan saling asuh. Oleh karenanya tidak aneh kalau banyak ditemukan siswa yang sama sekali tidak lagi memberikan rasa hormat terhadap gurunya sendiri. Karena keduanya sama-sama untuk mengambil sikap masa bodoh. Siswa lebih asyik mencari kompensasi dalam bentuk tawuran atau narkoba, dan tindakan kenakalan remaja lainnya, karena memang mereka sedang diliputi rasa frustasi yang mendalam akibat dari kegagalan dan tak terpenuhinya berbagai kebutuhan psikisnya. Harapan untuk menemukan jati diri, mendapatkan keterampilan, memperoleh pengetahuan dan membangun kehidupan sama sekali tidak didapatkannya.
Fenomena yang mencerminkan carut marutnya wajah pendidikan kita dan keterpurukan guru semacam itu harus ditebus mahal dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia seperti sekarang ini, yang tentunya semua itu harus segera berakhir, jika kita semua ingin menjadi bangsa yang terhormat, sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang sudah lebih dulu maju.
Sejalan dengan hadirnya gerakan reformasi di tengah-tengan kehidupan kita, maka perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan sistem pendidikan harus dilakukan, termasuk di dalamnya usaha untuk menempatkan guru sebagai kunci utama keberhasilan pendidikan. Seyogyanya guru diberikan otonomi yang lebih luas dalam melaksanakan berbagai tugas, fungsi dan kewajibannya, sehingga tidak lagi harus terpaku pada pola-pola yang dibakukan, seperti berbagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang menyebabkan kreativitas guru menjadi terpasung. Guru harus didorong berbuat lebih kreatif dan inovatif untuk menemukan sendiri berbagai metode dan cara baru yang paling sesuai dan tepat dalam proses pembelajaran, yang ditujukan demi keberhasilan para siswanya.
Begitu juga, bobot penilaian dan penghargaan kepada guru hendaknya ditekankan pada hal-hal lebih esensial dan subtansial yaitu sejauhmana guru dapat melaksanakan proses pembelajaran secara efektif dan sejauhmana guru dapat mengembangkan pola interaksi belajar yang kondusif. Jadi, bukan hanya sekedar dilihat dari segi kemampuan administratif semata.
Berbagai bentuk ganjalan yang berkaitan dengan kesejahteraan guru hanya bisa dilakukan melalui komitmen dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, untuk menempatkan guru sebagai profesi yang berhak mendapatkan penghargaan dan balas jasa yang layak. Pemberian tunjangan tidak dilakukan secara diskriminatif lagi, sehingga tidak terjadi lagi berbagai kesenjangan yang lebar, baik antara guru dengan guru itu sendiri, guru dengan dosen, maupun guru dengan profesi lainnya.
Berbagai bentuk pemerasan terhadap guru, dengan dalih apa pun tidak bisa dibenarkan lagi dan harus segera dihentikan. Birokrat yang masih bermental korup sudah waktunya untuk tidak diberi tempat lagi, karena bagaimana pun, guru saat ini sudah sanggup menunjukkan sikap kritis dan keberaniannya untuk mengambil sikap yang terbaik bagi dirinya.
Akhirnya, sejalan dengan upaya pemberdayaan guru, baik dari segi kinerja maupun kesejahteraannya, maka harapan untuk terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas akan menjadi menjadi kenyataan, yang pada gilirannya nanti akan terbentuk manusia-manusia yang sanggup menjadi pelopor pembangunan di daerahnya masing-masing, dengan memiliki dan wawasan sanggup berkiprah secara global.
Daftar Pustaka
Ahmad Tafsir, Dr., (1992), Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya.
Ali Saifullah HA, Drs., (1981), Antara Filsafat dan Pendidikan : Pengantar Filsafat Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional.
Andreas Harefa., (2000), Menjadi Manusia Pembelajar, Jakarta : PT.Kompas.
Hasan Langgulung, Prof., Dr., (1986), Manusia dan Pendidikan : Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta : Pustaka Al-Husna.
Idochi Anwar, Prof.,Dr., & Yayat Hidayat Amir, Drs., M.Pd., (2000), Administrasi Pendidikan : Teori, Konsep & Issue, Bandung : Program Pasca Sarjana UPI Bandung.
Ismaun, Prof.,Dr., (2001), Filsafat Ilmu : Diktat Kuliah Bandung : Program Pasca Sarjana UPI Bandung.
John Vaizey (1987), Pendidikan di Dunia Modern, Jakarta : Gunung Agung.
Sardjan Kadir, Drs. & Umar Ma’sum, Drs., (1982), Pendidikan di Negara Sedang Berkembang, Surabaya : Usaha Nasional.
Manusia Sebagai Mahluk Pendidikan

A. Manusia sebagai mahluk yang perlu bantuan.
Jika manusia tidak diberi bantuan maka manusia itu tidak akan berkembang dengan baik dan ia akan sering mengalami bermacam-macam gangguan.
B. Dunia manusia sebagai dunia terbuka.
Manusia diusahakan untuk serba bisa tergantung pada siapa dan bagaimana cara mendidiknya.
C. Manusia sebagai mahluk yang dapat, dan perlu di didik.
Perlu untuk di didik karena manusia itu serba terbuka dan dapat melakukan semua hal yang diinginkannya tanpa pertimbangan yang matang.
D. Batas-batas pendidikan.
Upaya pendidikan itu batasnya ada 3 sudut:
a. Waktu pendidikan.
Sejak ia dilahirkan.
b. Tujuan pelaksanaan pendidikan.
Agar dapat bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya serta tumbuh sikap mandiri.
c. Pribadi yang bersangkutan.